Wednesday, February 28, 2018

Mbah Thohari Dari Pleret, Sufi-Sufi Jaman Now




Oleh: Mathori A Elwa 


Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa ali Sayyidina Muhammad

Siang itu (sekitar tahun 1998-1999) kami, sebagian santri Pesantren Hasyim Asy‘ari Yogyakarta pimpinan KH Zaenal Arifin Arifin Thoha, berniat silaturrahim kepada salah seorang sufi tersembunyi di daerah Pleret, Yogyakarta. Dipimpin oleh Kang Zaenal—demikian aku biasa memanggilnya—kami meluncur dari Krapyak menuju Pleret dengan mengendarai sepeda motor ke tempat tinggal sang sufi. Meskipun pernah juga nyantri di sekitar daerah itu, waktu itu aku tidak tahu bahwa ada seorang sufi “aneh” di situ. Maklumlah karena aku mukim di Pleret hanya beberapa bulan sebelum akhirnya pindah ke Krapyak.
.
Setiba di rumah yang kami tuju, tuan rumah ternyata tidak kami temukan. Pintu rumah sang sufi pun digembok dari luar. Sebuah rumah yang sangat sederhana, bahkan cukup membuat kami penasaran. Kang Zaenal menunjukkan kepada para santrinya sebuah pohon yang dibiarkan menyembul dan menembus genteng rumah. Mengetahui hal itu kami hanya saling pandang. Mungkin karena takjub. Kelak kemudian kami menjumpai juga beberapa pohon dibiarkan menembus genteng Masjid Pesantren Lirboyo, Kediri.
.
Meskipun terik menyengat, Kang Zaenal yakin, tuan rumah berada tidak jauh dari rumahnya karena waktu azan Zhuhur masih agak lama. Benar dugaannya. Ternyata sang sufi tiba-tiba muncul dari atap rumahnya. Rupanya sang tuan rumah tengah berzikir, telentang di atas talang entah sejak kapan. Turun dari atap, sang sufi pun menemui kami di pelataran rumah. Kang Zaenal langsung memberi kode kepada tuan rumah agar kami semua didoakan. Tuan rumah mengangkat kedua tangannya. Tak ada suara yang kami dengar selain bibirnya yang tampak komat-kami. Setelah sang sufi mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya tanda doa selesai, kami pun langsung pamit pulang. Juga dengan kode, tanpa kata-kata. Kami bertamu tanpa ada obrolan, apalagi basa-basi.
.
Belakangan kami mengetahui secuil biografi sufi dari Pleret itu bernama Mbah Thohari. Menurut penuturan keponakannya, seorang pendiri dan pimpinan Pesantren Raudhatul Fatihah (ROFA), yakni Gus Fuad Pleret (KH Muhammad Fuad Riyadi), Mbah Thohari merupakan seorang hafiz (penghafal Al-Quran). Hidupnya sebatang kara alias njomblo. Meski begitu, kehidupan pribadinya cukup unik. Kehidupan ekonominya cukup mandiri. Mbah Thohari membuat sendiri minyak kelapa untuk keperluan masak-memasak dan menjualnya ke pasar terdekat. Kelapanya dihasilkan dari hasil kebunnya yang berada di belakang rumah. Di samping beberapa pohon kelapa, di kebunnya juga ditanami aneka pohon produktif, salah satunya adalah buah kates (pepaya). Saat panen, Mbah Thohari konon biasa menumpahkan sekarung kelapa kepada para tetangga atau saudara dekatnya secara mendadak lewat jendela tanpa mengeluarkan sepatah kata pun lalu pergi begitu saja. Yang rada aneh lagi, Mbah Thohari mencuci pakaian dengan cara merebusnya plus tanpa deterjen.
.
Soal pakaiannya yang amat sederhana tapi amat rapi-jali ini pernah aku menyaksikannya pada suatu Jumat yang cerah di Masjid Agung Kauman Pleret. Saat itu aku penasaran dan diam-diam ingin bertemu Mbah Thohari sendirian. Pokoknya ingin bertemu saja tanpa bermaksud apa-apa. Saat duduk menunggu shalat Jumat dimulai, aku duduk di depan salah satu tiang besar yang berada di shaf agak depan. 
.
Pikiranku waktu itu melayang, betapa senangnya bertemu dengan Mbah Thohari. Saat menengok ke belakang dan mempersilakan jamaah maju ke depan karena di sebelahku masih kosong, eh, ternyata Mbah Thohari berada persis di belakangku. Deg. Aku terkejut bukan kepalang. Seperti disengat listrik rasanya hatiku waktu itu. Justru karena itu, niatan untuk mempersilahkan maju dengan sendirinya nggak jadi. Justru aku pun tersipu malu. Malu karena kepergok punya keinginan ketemu dan ternyata dituruti. Batinku, luar biasa basyirah (penglihatan) Mbah Thohari. Aku jadi grogi lalu diam seribu bahasa.
.
Dari pandangan sekilas terhadap pakaian yang dikenakan Mbah Thohari, aku jadi terngiang kisah tentang cara mencuci pakaian ala Mbah Thohari dengan merebusnya tempo hari. Cukup rapi dan bersih meskipun tak ada tanda-tanda diseterika.
.
Ada kisah cukup menggegerkan mengenai Mbah Thohari. Meskipun dikenal sebagai hafiz, di masjid setempat Mbah Thohari tidak pernah mengimami shalat. Suatu hari pengurus masjid bermaksud mengetes kebenaran, apakah Mbah Thohari benar-benar hafal Al-Quran, atau hanya cerita omong kosong atau mitos. Caranya, pengurus masjid meminta beliau untuk mengimami shalat tarawih di suatu bulan Ramadhan. Beberapa kali diminta, Mbah Thohari tetap menolak. Akan tetapi karena pengurus masjid mendesak dan bernada setengah memaksa, akhirnya Mbah Thohari menyanggupinya.
.
Apa yang terjadi? Dengan mantap, rakaat pertama shalat tarawih malam itu pun dimulai Mbah Thohari dengan membaca surah Al-Baqarah secara penuh! Untuk rakaat selanjutnya, sebagian besar jamaah pun satu per satu mengundurkan diri alias teler karena kelelahan. Setelah kejadian itu, pengurus kapok, tak lagi meminta Mbah Thohari memimpin shalat!
.
Satu lagi. Dan kejadian ini sudah populer di masyarakat sekitar: masyarakat was-was jika Mbah Thohari mengumandangkan azan (lewat spiker di masjid). Kenapa was-was? Jika itu terjadi, biasanya akan ada bencana alam! Kabarnya, saat menjelang wafat pun, Mbah Thohari tak mengenakan pakaian. Dalam keadaan sakit, beliau hanya mau diselimuti selembar kain sarung hingga wafat. Al-Fatihah.
.
***
.
Apa pelajaran yang dapat dipetik dari kehidupan Mbah Thohari? Yang perlu kucatat, pertama, irit bicara; kedua, hidup amat bersahaja; ketiga, gemar berbagi; keempat, meskipun alim—sebagai seorang hafiz Al-Quran—beliau memilih hidup secara khumul—tak menonjolkan diri.
.
Di eras banjir informasi, diam adalah pilihan terbaik. Ke-diam-an Mbah Thohari mungkin sejenis tanda-tanda zaman, bahwa akan terjadi banjir informasi yang justru berbalik menjelma disinformasi. Hoax menjelma akidah yang diproduksi dan direproduksi. Di tengah membanjirnya post-truth, bulshit, dan tai kucing, diamnya Mbah Thohari ternyata makin bermakna.
.
Kita juga hidup di tengah arus deras kerakusan, kemewahan, dan laku koruptif. Kebersahajaan Mbah Thohari telah menusuk ulu hati kita yang gamang menyaksikan fenomena kehidupan jaman now.
.
Kerusakan ekologi, kemiskinan, dan beragam bencana sosial lainnya tentu saja bermuara pada ketakpedulian kita terhadap liyan. Kita disibukkan dengan absurditas dan makin hari manusia makin autis—asyik terhadap diri sendiri. Berbagi adalah kemewahan, dan kepedulian itu nonsens. Mbah Thohari telah menegur kita secara halus melalui pohon yang dibiarkan menembus atap rumahnya. Mbah Thohari menegur kita dengan tak memakai sabun cuci. Mbah Thohari menegur kita dengan diam tanpa kata-kata karena udara telah dikotori dengan informasi yang sia-sia.
.
Pada saat Mbah Thohari masih hidup, fenomena takfiri belum muncul. Politik busuk takfiriyah—mengafirkan pihak liyan (mazhab, aliran, agama, may of life), apalagi secara terbuka sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini di negeri ini belum ada, meskipun bibitnya sudah mulai muncul di Timur Tengah. Partai politik mulai memonopoli khatib, forum-forum pengajian, gedung-gedung resmi, dan masjid. Masyarakat bukan hanya mulai kehilangan sandal atau sepatu saat shalat di masjid, tapi masjidnya pun mulai hilang dicuri maling. Ke-khumul-an Mbah Thohari seakan memberi tanda, bahwa akan banyak yang hilang dari diri kita. Bukan hanya sandal, sepatu, atau masjid, agama, tapi juga diri kita. Keberagamaan kita telah dicuri justru oleh cara-cara kita beragama. Kemahabesaran Allah telah kita curi dengan cara teriak “Allahu Akbar” secara serampangan. Pemaksaan kehendak adalah tauhid; penonjolan diri adalah akidah; sikap mau menang sendiri adalah akhlakul-karimah. Dan kita menikmatinya tanpa mempedulikan Allah lagi. Hidup secara khumul seperti Mbah Thohari (yang tak mau menonjolkan diri) adalah bid’ah zhalalah jaman now! Dijamin tak laku dijual di pasar kebudayaan kita.
.
Keterangan foto: Sosok Mbah Thohari (Foto diambil dari laman https://www.facebook.com/MUHAMMADFUADRIYADI/posts/742732472552119:0?hc_location=ufi

No comments:
Write comments